Translate

Kamis, 04 Agustus 2016

Saya Tidak Mati

                                          Saya Tidak Mati
                                                             

Tidak ada kematian, yang ada hanyalah pergantian dunia Ada yang mengatakan begitu. Mungkin kalimat tersebut tepat saya gunakan untuk mengawali tulisan ini. 

Sampai saat ini saya masih nggambar, masih ndrawing. Hanya saja intensitas dan produktifitasnya sudah tidak sebanyak  dulu. Kepentingannya sekarang adalah sekadar untuk menyalurkan hasrat, memvisualkan ide/gagasan dan buat pajangan tembok rumah. Saya kira untuk berhenti dari hal yang kita senangi itu tidak mudah, dan saya juga tak ada niatan untuk berhenti. Gambar – gambar yang saya buat itu ide atau gagasan awalnya biasanya berangkat dari kegelisahan diri saya sendiri, dari apa yang saya rasakan, dari apa yang saya lihat, lalu apa yang ingin saya sampaikan. Di beberapa pameran yang saya ikuti, gagasan utamanya  juga begitu. Secara personal, gambar yang saya ciptakan ya berawal dari ide yang sesederhana itu. Lalu dalam suatu pameran kan ada yang namanya kuratorial dan tetek bengek lainnya, kemudian setelah dipamemerkan, orang yang melihat juga mengintrepretasikannya berbeda-beda, itu soal lain dan sah – sah saja.

Kembali pada soal gagasan awal tadi, ada beberapa gambar yang ketika saya mulai membuatnya belum tau apa yang akan saya gambar. Kadang saya memulai sebuah gambar dari coretan yang tidak disengaja, dari bekas tumpahan kopi atau lainnya, dari situ proses kreatif dan daya imajinatif saya dimulai. Lalu bagaimana mungkin berangkat dari sebuah coretan atau tumpahan kopi bisa menjadi sebuah karya hanya dengan imajinasi? Sebetulnya tidak serta merta seperti itu, proses itu bisa terjadi karena ada campur tangan dari habit  dan alam bawah sadar yang saya miliki. Yang dimaksud habit disini adalah karena saya sudah terbiasa melakukan hal ini (nggambar) sehingga soal teknik dan caranya saya anggap sudah selesai. Kemudian alam bawah sadar adalah apa yang kadang tidak saya sadari, dan itulah yang nantinya berhubungan dengan imajinasi saya dalam berkarya. Proses ini juga terbentuk dari apa yang otak saya konsumsi, yaitu dari apa yang saya baca, saya lihat atau yang saya alami.

Faktor - faktor

Terakhir saya berpameran adalah pameran bertiga bersama Irfan Fatchu dan Rana Wijaya di Widya Mitra Semarang, pameran kartu pos bertema September. Kalau tidak salah waktu itu September 2013. 

Ada beberapa faktor yang membuat saya berhenti mengikuti maupun membuat pameran.
Pertama, adalah saya tidak punya lagi  teman yang memiliki konsep dan gagasan yang sejalan dalam berkesenian, dan sialnya saya tidak bisa berjalan sendiri dalam hal ini. Sehingga semangat militansi dalam mengadakan sebuah pameran menjadi loyo. 

Kedua, Pekerjaan. Terkesan klise memang mengkambing hitamkan pekerjaan. Mulanya adalah ketika semangat militansi tadi sudah mulai loyo, di saat itu saya mulai bekerja kantoran, jasa perpajakan. Sangat jauh dari dunia pergambaran ya, tetapi pekerjaan itu justru yang lebih dekat dengan sekolah formal tempat saya mendapatkan ijazah, Ekonomi. Inilah kehidupan, tidak dapat ditebak.

Pada akhirnya pekerjaan memang menuntut banyak waktu dan pikiran, karena saya punya tanggung jawab terhadap tempat saya bekerja. Akhirnya semangat militansi yang sudah loyo tadi menjadi hilang, hanya kadang – kadang terasa desiran di hati. (ngono kae pokoke).
Dengan keadaan seperti itu, waktu yang semakin sedikit dan semangat yang sudah lenyap, intensitas berkarya berkurang dan berwacana untuk membangun gagasan tidak tersampaikan.  ...... Itu!

Ketiga, Perempuan!


Saya Tidak Mati

Tahun 2005 saya mulai berkenalan dengan dunia seni rupa secara langsung, kemudian pada 2006 untuk pertama kalinya saya ikut berpartisipasi dalam sebuah proyek pameran, dan terus berlanjut hingga 2013.  Kurun waktu 2005 – 2010 saya bekerja di Rumah Seni Yaitu, sebuah ruang seni yang cukup ngontemporer . Dari sana saya mulai berkenalan dengan dunia seni rupa se-isinya, pun dengan seniman - seniman yang berpameran di sana. Bertemu dengan banyak seniman tentunya baik langsung ataupun tidak membawa dampak positif dalam berkesenian, aura kreatifitas seolah berhamburan di setiap sudut ruang. 

Sekarang, setelah tiga tahun “hilang”, saya tidak ingin kembali sambil berkata “I'm back” atau mengatakan “aku si anak hilang yang kembali pulang”, tidak! 

Dulu ada yang berkata; “Jika ingin menjadi seniman, fokuslah disitu, konsisten terus.(ternyata saya tidak mampu).  Ada lagi yang berkata; “Tak masalah nanti kamu jadi seniman atau tidak, jadi apapun nanti yang penting kamu menemukan jalanmu sendiri dan senang dengan apa yang kamu kerjakan”. Kemudian seorang guru pernah berkata padaku; “Seseorang yang belajar ilmu ekonomi sudah semestinya paham tentang peluang, kamu harus mampu berfikir dan menganalisis jauh ke depan atas apa yang kamu kerjakan”. 


Saya tidak mati, jiwa saya tidak bisa mati dari dunia yang saya cintai ini. Saya hanya bertransformasi menjadi sesuatu yang baru dan menuju dunia baru. Bukankah hal seperti ini merupakan hal yang lumrah?..
Di dalam dunia seni saat ini saya lebih suka menyebut diri saya sebagai penikmat seni bukan lagi sebagai pelaku / pekerja seni. Hanya sebagai pelaku seni untuk diri sendiri, kurang lebih begitu. Untuk kedepannya saya tidak tahu ......


Note : Saya yakin drawing saya masih ngontemporer dan berat :v


Tabik..

Senin, 28 Oktober 2013

Pameran Kartu Pos "September"



 POSTCARD "SEPTEMBER"
Aris Yaitu

Postcard Transfer Media ( on hardboard )
Aris yaitu






September


Banyak peristiwa penting dan bersejarah tercatat, baik di Indonesia maupun dunia pada bulan September. Baik itu tentang kelahiran, kematian, perayaan, hingga persoalan politik sekalipun, dan lain sebagainya. Dibulan tersebut, tak sedikit pula cerita-cerita individu menghiasi deretan bulan dengan hari berjumlah 30 ini; pertemuan, perpisahan, kehilangan, kematian, pencarian jati diri dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa dan cerita-cerita tersebut kemudian disampaikan lewat media kartu pos. Sebuah media tradisional yang memiliki sentuhan personal. Media yang masih memiliki potensi untuk menyebarkan berita, tempat wisata, kuliner, seni budaya, dan termasuk seni rupa, dari negeri sendiri hingga seluruh dunia.

Dari kecintaan saya dan dua orang kawan : Rana Wijayasoe dan Irfan Fatchu Rahman terhadap kartu pos, munculah gagasan untuk membuat pameran ini. Melalui proses ngobral-ngobrol yang cukup lama dan panjang akhirnya kami bersepakat untuk memberi tema pameran kartu pos ini "September".




 Kartu Pos Lintas Zaman
[Pengantar katalog pameran]
Oleh Ari Murdianto

Lebih dari seratus tahun lalu, pada tahun 1869, sebuah benda pos bernama Correspondez-Karte diluncurkan di Austria. Benda pos yang berfungsi untuk berkorespondensi dan lebih dikenal luas sebagai kartu pos ini mulai diketahui khalayak Amerika pada  tahun 1893 saat digelar World Columbian Exposition, suatu acara peringatan penemuan Benua Amerika oleh Columbus. Kartu pos menjadi sebuah tren pada awal sampai pertengahan abad ke-20. Di Indonesia sendiri pada kurun waktu 1920 - 1930 banyak perusahaan yang menggunakan kartu pos untuk ajang promosi. 

Zaman sudah berubah. Semenjak arus informasi menjadi serba cepat dan alat-alat pengirim pesan semakin canggih di era digital ini, berkorespondensi menggunakan kartu pos mulai ditinggalkan. Alat komunikasi manusia jarak jauh yang menggunakan tulisan tangan dan dikirim melalui layanan pos mulai digantikan oleh perangkat elektronik berpapan kunci yang hanya dengan menekan sebuah tombol sampailah pesan ke orang yang dituju.
Namun pamor kartu pos di era digital ini rupanya belum padam. Banyak juga para pecinta kartu pos yang masih setia dengan cara berkirim pesan tradisional ini. Sebuah situs proyek online yang memungkinkan para anggotanya untuk mengirim dan menerima kartu pos dari seluruh dunia bernama postcrossing.com memiliki 400 ribu lebih anggota yang aktif berkirim kartu pos dengan lebih dari 19 juta kartu terkirim. Anggota postcrossing dari Indonesia sendiri berjumlah 3.176 orang dengan jumlah kartu pos terkirim 49.952 (data 15/9/2013). Belum lagi di luar postcrossing yang saya yakin masih banyak yang berkirim kartu pos.
Dan dewasa ini, fungsi korespondensi kartu pos tak lagi hanya untuk berkirim kabar. Jamak ditemukan kartu pos untuk ajang promosi pariwisata. Namun tak terbatas itu, kartu pos bisa menjadi media penyaluran bakat di bidang seni rupa dengan sentuhan sangat personal. Seperti yang dilakukan oleh artis dari Semarang, Aris Yaitu, Irfan Fatchu Rachman, dan Rana Wijaya Soemadi yang mengadakan pameran kartu pos bertema "September". Melalui goresan pena gambar dalam media kartu pos mereka mengejewantahkan hasil cipta, rasa, dan karsa mereka. Cerita-cerita individu mereka yang terjadi pada September yang tertuang dalam pameran kartu pos itu menambah khazanah dalam dunia kartu pos di Indonesia.

"Bertukar kartu"
Aris yaitu


 Kartu Pos dan Sensasi Berkomunikasi
[
Tulisan untuk katalog pameran]
Oleh
Rizki Ramadan

Berbicara tentang kartu pos bikin saya selalu ingat sama salah satu cerita pendek, Kartu Pos dari Surga karangan Agus Noor.  Cerpen itu bercerita tentang anak kecil bernama Beningnya yang menunggu kartu pos dari ibunya, Ren. Tiap kali kerja keluar kota, Ren selalu mengirimi kartu pos. Dari hari ke hari Beningnya menanyakan terus mengapa ibunya belum juga mengirimkan kartu pos. Sang Bapak, Marwan,  tak tega untuk memberi tahu bahwa Ren telah meninggal karena kecelakaan.

Segala cara Marwan coba agar anaknya tidak lagi menanyakan kartu pos dari Ren. Termasuk dengan mengirimkan kartu pos  bernamakan Ren. Beningnya yang sudah hapal benar, tau kalau kartu pos itu palsu.
Sampai akhirnya, di suatu malam, arwah Ren datang menghampiri
memberikan kartu pos secara langsung kepada si Beningnya.


Mengapa Ren memilih kartu pos sebagai mediumnya untuk berkabar dengan Beningnya?
Mengapa Beningnya begitu terkesan dan menunggu-nunggu kartu pos dari Ren? Lalu, mengapa Beningnya bisa tahu mana kartu pos yang asli kiriman ibunya mana yang bukan?

Membaca cerita itu, pasti kita setuju kalau kartu pos memang memiliki keistimewaan khusus
dibanding medium komunikasi lainnya. Setelah setahun lebih menggeluti hobi bertukar kartu pos kreatif dengan teman-teman anggota Card to Post, saya pun mengetahui jawabannya.

Pertama, jika disandingkan dengan komunikasi digital yang sangat instan, kartu pos memberikan sensasi yang menarik, yaitu keterkejutan. Rentang waktu pengiriman yang kerap tak bisa ditebak-tebak membuat kartu pos jadi mengejutkan. Bagi si penerima, waktu tiba dan pesan pada kartu pos selalu mengejutkan. Bagi si pengirim, kartu pos membuatnya tegang menebak-nebak kapankan pesannya sampai. 
Dilihat dari pesannya, kartu pos itu personal. Sama seperti surat, kartu pos juga akan membuat sang pengirim menuliskan pesannya langsung dengan tulisan tangannya.  Kita pun sama-sama tahu kalau tulisan tangan itu otentik. Salah satu buktinya adalah, ketika kita membeli buku, kita akan senang jika mendapatkan tanda tangan asli dari penulisnya. Ciri, karakter, sifat dan emosi pun secara langsung tertuangkan dalam tulisan tersebut.

Selain itu, kartu pos itu berwujud, bisa disentuh dan dirasakan. Dan kita selalu punya perlakuan khusus terhadap benda berwujud dibandingkan yang maya. Kita bisa memajangnya di tembok kamar, menjadikannya sebagai pembatas buku atau menyimpannya baik-baik dalam album. Kartu pos lebih collectible dan pastinya memorable. Dalam cerpen Agus Noor pun diceritakan kalau Beningnya mengumpulkan kartu pos dari ibunya pada sebuah kotak. Tiap kali ia rindu ibunya, ia membuka kotak dan membaca-baca ulang kartu posnya.

Terakhir, kartu pos itu menarik secara visual. Walau personal, kartu pos juga memiliki sisi terbuka. Bisa jadi karena itulah kartu pos dibuat dengan mempertimbangkan desain dan kreasi tertentu. Umumnya, kartu pos memiliki dua sisi. Sisi untuk menuliskan alamat dan pesan, serta sisi yang memuat gambar. Dengan begitu, berbagi pesan dan cerita pun menjadi lebih menarik dan menyenangkan.

Nah, coba bayangkan kalau sajian visual pada kartu pos itu juga dibuat langsung oleh pengirimnya. Dengan sketsa, karya luksinya, karya fotografi, atau crafting. Kartu pos menjadi lebih spesial, apalagi kalau karya di kartu pos tersebut dibuat hanya satu, khusus untuk kita.

kartu pos membuat komunikasi menjadi lebih esensial. 

My friends (gadis malam pembukaan hahahaha) - Icha & Nana

September dalam Kartu Pos yang Terlupakan
Oleh Triliana Ks

Bertandang ke pembukaan Pameran Kartu Pos malam itu (30/09) di Galeri Garasi Widya Mitra Semarang, membuat saya teringat dengan film “Chasing Liberty”. Ya, di film drama romantis yang dibintangi Mandy Moore dan Matthew Goode itu, kartu pos menjadi perantara cerita yang menyenangkan. Perpindahan lokasi cerita dalam film disatukan dengan kartu pos bergambar kota-kota di Eropa yang didatangi sang puteri Presiden Amerika, Anna Foster (Moore), dengan si agen pemerintah Inggris, Ben Calder (Goode). Kisahnya terbalut sangat pas dengan kemunculan kartu pos-kartu pos yang manis, meski hanya sekilas. Lalu, apa hubungan film “Chasing Liberty” dengan Pameran Kartu Pos bertajuk September kali ini?
Hubungannya terletak pada kesamaan penggunaan media yang sifatnya personal dan memiliki sensasi komunikasi tersendiri ini. Di dalam filmnya sendiri, rasa personalitas terberi ketika kartu pos menampilkan gambar kota-kota khas Eropa, dengan didramatisir oleh alur cerita cinta antara kedua pemeran utamanya. Sementara, lewat Pameran Kartu Pos, penulis bisa merasakan perasaan emosional ketiga seniman ketika menikmati karya-karya yang tersaji. Ya, pameran yang berlangsung hingga 12 Oktober 2013 ini diisi oleh karya seniman-seniman muda Semarang, Aris Yaitu, Rana Wijaya Soemardi, dan Irfan Fatchu Rahman.

Lalu mengapa memilih September? Karena bulan tersebut bisa dibilang penuh dengan cerita, kesan, dan pesan bagi ketiga seniman. Ada banyak kejadian yang menarik terjadi di bulan ini. Satu per satu, para seniman memilih caranya sendiri untuk memamerkan hasil karya dan ekspresinya lewat kartu pos.

Postcard oleh Aris Yaitu
Seperti yang dilakukan oleh Aris Yaitu, saya bisa menangkap ia sengaja memberikan kesan personalnya tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi di bulan September. Di sini ia memilih menggunakan transfer media. Karyanya cenderung klasik karena menampilkan sosok dan event lawas tapi melegenda, sehingga meskipun kebanyakan tersaji dalam siluet, namun tetap mudah dikenali oleh penikmatnya. Tapi, siapa yang menyangka jika ternyata para sosok dan event tersebut memiliki bulan sakralnya, yakni bulan September? Maka lewat karyanya ini, Aris ingin mengingatkan betapa September penuh dengan kenangan. Seperti kenangan akan event perdana Cannes Film Festival di Prancis, 20 September 1946. Atau kenangan akan kematian sosok kharismatik, Mao Zedong, yang ternyata meninggal pada bulan September, tiga puluh tujuh tahun yang lalu. Dan yang paling mengusik adalah kenangan akan G30SPKI dan tragedi kematian Munir yang juga tersaji dalam pameran ini.

Postcard oleh Rana Wijayasoe
Adapun Rana Wijaya Soemardi lebih banyak mengekspresikan perasaannya lewat goresan drawing pen di atas kertas. Ada kesan tentang cinta, kenangan, harapan, dan kehilangan yang terasa begitu penulis menyelami karya-karyanya. Salah satunya adalah karya berjudul “4 Seasons” yang menggambarkan kisah perpisahan sepasang kekasih dengan latar belakang empat musim. Atau karya lainnya yang berjudul “Memory”, seperti ingin menggambarkan adanya semacam kotak ingatan di dalam pikiran manusia, berisi ingatan akan masa lalu yang menyenangkan dan menyedihkan. Semua kenangan yang tak mungkin hilang begitu saja, karena sering tersimpan rapat seperti sewajarnya yang terjadi pada setiap manusia. Lain lagi dengan “A Journey” yang terasa layaknya perjalanan hidup seorang Rana, hingga membentuk diri pribadinya saat ini. Mewarisi perjalanannya dari masa kanak-kanak, remaja, hingga mencintai seseorang atau mencintai sesuatu, seperti seni rupa. Maka semuanya terpuaskan dalam bulan September, di mana ia menjadi pencerita sejati melalui goresan karyanya.

Postcard oleh Irfan Fatchu Rahman
Sementara itu, Irfan Fatchu Rahman menyajikan karya fotografinya yang berbalut cerita kenangan tentang tempat-tempat tertentu. Karyanya bisadibilang cukup menghibur. Ada beberapa yang tersisipi cerita kocak, sementara yang lainnya mengesankan kenangan manis yang hidup dalam diri Irfan. Eloknya Taman KB Semarang, perjalanan Bandung-Jakarta yang ditemani hujan, Tugu Pancoran Jakarta, mercusuar pelabuhan Tanjung Emas, semuanya mengetengahkan jejak kenangan sang fotografer. Ia pun tak lupa menuliskan berbagai pengalamannya sebagai penanda kehadirannya di dalam setiap karyanya. 

Semakin Dilupakan
Nah, bila menilik beragam karya dalam pameran kali ini, rasanya begitu melekatkan peran kartu pos sebagai agen budaya salah satunya lewat karya seni rupa. Di sini karya para seniman dalam kartu pos membentuk seni rupa murni sebagai ruang kontemplasi yang menjadikan ekspresi jiwa manusia sebagai titik beratnya. Secara visual, sangat menarik melihat karya lukisan dan fotografi yang ditempatkan dalam media kartu pos. Tentu saja sudah jamak diketahui bahwa kartu pos biasanya memiliki dua sisi. Sisi pertama untuk menuliskan identitas pengirim dan penerima pesan serta isi pesan, sedangkan sisi kedua menjadi ruang untuk meletakkan gambar atau foto yang mampu memberi kesan tertentu kepada pembacanya. Menyatukan kedua fungsi dalam satu media tentu memiliki nilai-nilai tersendiri yang tidak akan mudah dikesampingkan.
Pertama, kartu pos menjadi media yang mudah digunakan untuk mencairkan ide-ide yang terpenat dalam pikiran. Meminjam quote dari Manuel J. Borja Villel, “Above all [Daguerre, the inventor of photography] admired the postcard as the supreme expression of art. This was why he was attracted to the new invention.*
Seni rupa, utamanya seni visual, memang tidak melulu harus dituangkan ke dalam kanvas. Sang seniman harus dapat mengolah segi kreativitasnya ke dalam berbagai bentuk media yang tidak kaku sehingga bisa diterima masyarakat yang semakin berkembang. Banyak media dan teknik baru yang muncul dan bisa digunakan bahkan dikembangkan. Masa inilah yang kemudian muncul istilah seni rupa kontemporer dengan teknik dan media yang berbeda dari seni rupa tradisional. Seperti halnya kartu pos yang menjadi inspirasi media menyalurkan kreativitas seni. Ada segi keindahan atau estetika dalam seni rupa yang bisa membantu fungsi kartu pos membentuk nilai pesonalnya. Karenanya, seniman dituntut untuk bisa menciptakan karya seninya yang mampu menonjolkan keindahan dan ketepatan penempatan pada media kartu pos. Dengan demikian, visualisasinya yang indah akan sangat pas bila membayangkan nantinya kartu pos diisi dengan pesan tertentu oleh sang pengirim pesan. 

Aris, Rana, Irfan
Kedua, saya ingin sekaligus mengingatkan betapa kartu pos pada masanya benar-benar digemari. Ketika itu, kartu pos bisa dibilang merupakan penemuan hebat di bidang komunikasi tulisan setelah dimulainya layanan pos. Tahun 1840 muncul kartu pos yang diklaim sebagai yang pertama mencantumkan gambar di dalamnya. Penggunaan gambar pada satu sisinya menjadikan nilai penting dalam berkomunikasi via kartu pos. Ia bisa mewakili perasaan pengirim pesan, terutama bila berurusan dengan pesan-pesan romantis. Selain itu, ia juga bisa menjadi kenang-kenangan yang manis dari suatu lokasi yang pernah dikunjungi. Namun di samping sisi estetikanya, kegemaran terhadap kartu pos juga dikarenakan murahnya biaya yang harus dihabiskan dibandingkan dengan menggunakan surat dengan amplop dan prangko. Mengirimkan kartu pos memang tidak serumit berkirim surat, karena cukup menggunakan prangko dan menuliskan sebait pesan kepada yang tertuju.

The displayer - Aris yaitu
Sayangnya, penggunaan kartu pos sebagai ajang bertukar informasi saat ini semakin dilupakan oleh karena perubahan zaman yang semakin pesat. Mungkin bahkan anak-anak masa kini tidak mengetahui apa itu kartu pos. Ya, bisa dibilang kartu pos saat ini sudah tergantikan dengan keberadaan teknologi kekinian seperti gadget dan internet. Kedua teknologi ini lebih sering dipilih untuk saling mengirimkan pesan, bahkan pesan cinta yang sifatnya personal sekalipun. Kecepatan akses informasi menjadi faktor utama penggunaan teknologi baru ini. Kita tidak perlu menunggu lama ketika mengirim dan menunggu balasan akan pesan yang telah terkirim. Cukup sekali “klik”, maka segala urusan akan beres. Di sini tidak lagi ada sensasi menunggu balasan, atau sensasi personal lainnya seperti yang biasa terjadi ketika berkirim kartu pos. Pesan yang tersampaikan pun bersifat maya karena tidak lagi bisa disentuh secara fisik. Lalu tidak ada kenikmatan mengirim dan menerima pesan layaknya perasaan menebak-nebak dengan berkirim kartu pos. Satu hal lagi yang hilang, budaya menulis pesan sendiri atau orisinal pun luntur, karena dengan peran “klik” kita biasanya cenderung dengan mudah melakukan copy-paste.

Mungkin sederet hal di atas menjadi alasan pelaksanaan Pameran Kartu Pos kali ini. Para seniman menggugah ingatan para penikmat seni, khususnya, dan masyarakat pada umumnya, tentang nikmatnya berkirim kartu pos. Merasakan sensasi berkomunikasi yang syahdu dengan kartu pos, sekaligus menikmati visualisasi kecerdasan seni rupa yang tersaji. Jadi sama halnya dengan scene-scene dalam “Chasing Liberty”, kartu pos bisa menjadi perantara saat ingin mendapati perasaan yang personal dan emosional tentang sesuatu, atau bahkan seseorang.
*  In Piece: An Anthology of fragmentary Writing", hal 379. Editor: Olivia Dresher. penerbit: Impassio Press. tahun 2006







Saya masih suka berkirim kartu pos, jadi jangan sungkan untuk mengirimi saya kartu,
pasti ku balas...

Salam korespondensi!